Sabtu, 06 November 2010

UN vs UN


UN vs UN
(Antara Ujian Nasional & Ujian Nurani)

Amanah Undang-Undang Dasar 1945 yang diberikan kepada pemerintah saat ini salah satunya adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini menandakan bahwa pemerintah harus betul-betul memperhatikan dunia pendidikan di Indonesia, mulai dari peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan kompetensi guru, sarana prasarana, menyediakan subsidi bagi siswa kurang mampu dan lain sebagainya.
Pemerintah juga harus merencanakan dan memprogramkan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia secara bertahap dan merata diseluruh Indonesia, sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial. Dalam hal ini telah pemerintah telah berusaha meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dengan menetapkan delapan standar pendidikan di Indonesia. Delapan standar tersebut antara lain; standar proses, standar proses, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.
Sayang meskipun pemerintah telah menganggarkan 20% untuk anggaran pendidikan, tetapi dalam penerapan di lapangan pemerintah sampai saat ini belum mampu menerapkan dan meratakan delapan standar pendidikan diseluruh wilayah di Indonesia. Hanya pada daerah perkotaan yang mampu menerapkan delapan standar pendidikan. Sedangkan di daerah pesedesaan dan pedalaman hal itu hanya menjadi sebuah mimpi disinang hari.
Yang lebih eronis lagi, ternyata dari delapan standar pendidikan yang telah dibuat pemerintah telah menetapkan standar penilaian sebagai standar utama dalam pemerataan standar pendidikan di Indonesia. Tanpa melihat atau mempertimbangkan pemerataan standar pendidikan lainnya. Standar penilaian yang ditetapkan pemerintah adalah dengan membuat standar  minimal kelulusan di tingkat sekolah menengah pertama (SMP/MTs) dan Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) serta Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Dalam hal ini pemerintah telah menyamakan sekolah yang berada di Jakarta yang secara pisik sarana dan prasarana telah lengkap, guru-guru yang berkompetensi, media pembelajaran yang memadai, ditambah in put siswa yang tinggi.
Sehingga secara logika saja dapatkah standar nilainya disamakan dengan sekolah yang berada di pedalaman Kalimantan, misalnya di Kalimantan Timur; sekolah di Ulu Mahakam dengan sarana dan prasarana yang minim, guru-guru pun dengan kemampuan terbatas, ditambah dengan media pembelajaran yang seadanya. Tentu ini adalah sebuah ketidakadilan dan penzaliman yang telah dilakukan pemerintah.
Apakah dengan dalih pemerintah, untuk mengejar standar pendidikan dunia diamana Indonesia masih tertinggal. Lantas kemudian memaksakan diri untuk menstandarkan nilai dengan mengadakan Ujian Nasioanal dapat diterima secara logika? kalau ya! bagaimana dengan hati nurani?....
Selain ketidakadilan, Ujian Nasional juga telah merubah pola pikir Sekolah/madrasah, guru, orang tua, bahkan siswa. Karena yang dikejar sekarang adalah bagaimana agar dapat lulus pada Ujian Nasioanal (UN) sehingga sekolah berlomba-lomba mengadakan bimbingan belajar sehingga ada asumsi yang menjadikan pelajaran lain selain pelajaran yang diujikan secara Nasional (UN) menjadi tidak penting.
Kemudian diperparah lagi oleh pemerintah daerah yang tidak mau nilai UN di daerahnya anjok karena menyangkut nama baik daerah, maka sekolah-sekolah pun akhirnya diarahkan untuk melakukan kecurangan.
  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai sikap pemerintah yang bersikukuh menerapkan Ujian Nasional sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). "Dalam 100 hari SBY-Boediono, ini telah tercatat dan divonis sebagai pelanggar HAM," kata Muhammad Isnur dari LBH Jakarta dalam siaran persnya, Kamis (28/1).
Padahal pada 14 September 2009 lalu, Mahkamah Agung (MA) melalui hakimnya Abbas Said, Mansyur Kartayasa, dan R Imam Harjadi menyatakan menolak kasasi yang diajukan oleh Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua BSNP serta memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menyatakan;
"Para Tergugat (Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua BSNP) telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan lalai memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya, khususnya hak atas pendidikan dan Hak atas Anak."
Dalam UU 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia, pasal 8 disebutkan bahwa Perlindungan, pemajuan, Penegakkan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam hal ini, kata dia, sudah Jelas Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua BSNP merupakan Pemerintah dan telah divonis melakukan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hal ini lalai dalam pemenuhan dan Perlindungan HAK Asasi Manusia terhadap warga negaranya, dan juga para Korban Ujian Nasional.
"Pasal 1 poin 6 UU HAM menjelaskan bahwa kesengajaan ataupun kelalaian adalah bentuk pelanggaran HAM, maka dengan jelas atas vonis tersebut Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua BSNP telah melanggar HAM dengan kebijakannya selama ini mengadakan Ujian Nasional," tandas aktivis LBH Jakarta.
Yang menjadi miris dan berbahaya, lanjutnya, ketika kebijakan yang selama ini terbukti melanggar HAM masih terus dipaksakan dan diteruskan, di tahun 2010 ini. Dengan masih rendahnya kualitas guru, dengan masih buruknya sarana dan Prasarana Sekolah di berbagai daerah, dengan masih tingginya disparitas akses informasi di berbagai daerah pemerintah tetap akan mengadakan Ujian Nasional, dan akan tetap menjadikannya sebagai syarat kelulusan. "Maka kebijakan ini bukan lagi pelanggaran HAM dalam sebuah bentuk kelalaian, tetapi merupakan sebuah bentuk kesengajaan," kata Muhammad seperti dilansir situs vivanews.
Muhammad menilai pemerintah sengaja membentuk karakter anak bangsa yang lebih cenderung mengedepankan nilai-nilai yang terbukti didapat banyak dengan cara curang dan tidak jujur. Dan pemerintah sengaja melanggar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, prinsip-prinsip pedagogis, dan pemborosan dana negara.
Ujian Nasional (UN) disinyalir berdampak negatif terhadap moral pihak sekolah, diantaranya malah bisa mendidik guru dan atau kepala sekolah SD, SMP dan SMA untuk tidak jujur atau ‘korupsi’ nilai. Pasalnya, demi gengsi dan mengangkat nama sekolah, pihak sekolah menghalalkan segala cara untuk mengatrol nilai siswa di sekolahnya. UN membuat kompetisi tidak sehat untuk mencapai nilai tinggi guna bersaing atau adu gengsi antar sekolah.
“Disinyalir guru sekolah ‘menyuap’ pengawas luar untuk melonggarkan siswa yang sedang ujian agar bisa saling nyontek supaya nilainya bagus. Bila perlu guru sekolah membantu memberi jawaban soal yang diuji kepada siswanya. Ini semua demi mengangkat grade sekolah,” ungkap pengamat Universitas Nasional (Unas) Tubagus Januar Soemawinata, Rabu (27/1) malam.
Selain itu, lanjut Januar, UN juga mengakibatkan gangguan psikologis dan mental anak. Anak yang pintar di sekolah bisa tidak lulus hanya karena ditentukan oleh nilai satu dua pelajaran saja yang diujikan dalam UN. Sebaliknya, anak yang rata-rata nilai harian mata pelajarannya jelek tetapi nilainya mendadak bisa mencapai standar minimal kelulusan tiga atau empat mata pelajaran yang diujikan di UN, sudah bisa lulus. “Artinya, nilai UN hanya mengejar ranah kogintif, sementara nilai pendidikan moral diabaikan,” paparnya.
Eko Prasetyo, pengamat pendidikan dari pusat studi hak asasi manusia (HAM) Universitas Islam Indonesia (UII), memiliki pandangan senada. Menurut dia, UN tidak menghargai dan melibatkan guru sebagai profesi yang mengetahui kemampuan anak didik. “Guru hanya sebagai pengawas. Bahkan, kerap kali guru menjadi korban ketika beberapa siswanya tidak lulus,“ ujarnya.
Inilah yang menyebabkan timbulnya kecurangan-kecurangan. Seringkali, guru dibebani oleh aparatur pemerintah lain agar meluluskan siswanya. “Saya rasa profesi guru tidak mendapatkan jaminan perlindungan yang memadai dalam proses ujian nasional,” imbuhnya.
 Eko berpendapat, ujian nasional juga tidak menghargai kemampuan siswa. Menurutnya. ada banyak kemampuan siswa yang sebenarnya sudah dipenuhi oleh materi pembelajaran yang ada, namun tidak terangkum dalam ujian nasional. “Hak sebagai peserta didik menurut saya itu jelas tidak dihargai dalam proses ujian nasional,” tandasnya.
 UN juga dinilai sangat membebani siswa. Sebenarnya banyak upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan nilai siswa, atau mendorong siswa lulus. “Misalnya ikut bimbingan belajar, ikut banyak les, itu tindakan-tindakan yang manipulatif dan memeberikan beban biaya tambahan,” contohnya.
Sebaiknya sistem pendidikan yang ada sekarang ini diubah menjadi sistem yang lebih baik. Saat ini pemerintah menetapkan nilai yang cukup tinggi untuk dapat lulus dari Ujian Akhir Nasional / UAN baik di tingkat SD, SMP maupun SMA. Untuk dapat lulus setiap siswa diwajibkan untuk mendapatkan nilai 4,25 pada masing-masing mata pelajaran yang diujikan.
Jika pemerintah terus melakukan teror kepada para siswa sekolah dengan mewajibkan setiap siswa menjadi manusia yang sempurna maka akan ada efek samping yang cukup mengerikan, yaitu :
1. Para siswa akan berorientasi pada nilai sehingga ilmu tidaklah berarti bagi mereka. Yang mereka pelajari justru bagaimana cara menjawab soal-soal ujian yang diberikan dengan waktu secepat mungkin dan benar. Setelah ujian selesai maka ilmu yang seharusnya dikuasai siswa tidak dipelajari para siswa.
2. Meningkatkan stres di kalangan siswa sekolah menjelang ujian nasional / UN dilaksanakan. Rasa takut tidak lulus dan malu karena harus mengulang setahun untuk mendapat kesempatan untuk lulus kembali. Terlebih lagi jika orangtua pelajar tidak mampu.
3. Tindak kecurangan akan lebih sering kita jumpai baik dari pihak sekolah yang membantu para murid agar bisa lulus dengan membuatkan contekan jawaban serta dari siswa itu sendiri yang mencontek atau menggunakan kunci jawaban agar bisa lulus ujian dan kemudian melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
4. Orang yang jenius di banyak bidang studi namun lemah di satu bidang studi tidak bisa lulus ujian nasional. Dengan begitu hanya manusia sempurna saja dan curang yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
5. Menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan di Indonesia sehingga akan banyak orang yang putus sekolah dan berusaha mencari uang dengan bekerja atau berwiraswasta. Anak muda akan lebih gemar belajar mencari uang daripada belajar di sekolah karena orang yang lemah di satu mata pelajaran tidak akan pernah bisa lulus ujian nasional. Orang-orang muda akan lebih suka belajar hanya dari program kejar paket daripada sekolah bertahun-tahun setipa hari untuk mendapatkan ijazah di level yang sama.
Dari beberapa hal di atas, sangatlah jelas terlihat bahwa antara nilai positif pelaksanaan Ujian Nasional dibandingkan dengan dampak negatifnya Ujian Nasional sangat jauh berbeda. Hal ini menjadi PR bagi seluruh insan pendidikan di Indonesia, yang harus segera memikirkan dan membuat sebuah tindakan untuk menyelamatkan nasib generasi bangsa di masa yang akan dating.
Dalam Al-Qur`an Surah Ar Ra’d Ayat 11 Allah telah berfirman sebagai berikut:إِنَّ الله لاَيُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ ماَ بِأَنِفُسِهِمْ  “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah sendiri keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Selanjutnya pendidikan di Indonesia mau dibawa kemana???




Referensi Web :

1.  Judul               :    Ujian Nasional Dinilai Melanggar HAM
                             Alamat            :    http://www.jakartapress.com/www.php/news/id/11217/Ujian-Nasional-Dinilai-Melanggar-HAM.jp

Penulis             :    www.jakartapress.com
Waktu Akses   :    31 Oktober 2010/24.00WITA

2.  Judul               :    Ujian Nasional, Kelalaian Memenuhi Hak atas Pendidikan


Penulis            :    www.hukumonline.com
Waktu Akses   :    30 Oktober 2010/23.00WITA

3.  Judul               :    Efek Dampak Buruk Standar Nilai Ujian Nasional UN Tinggi Demi Peningkatan Kualitas Pendidikan Indonesia

     Alamat            :    http://organisasi.org/efek-dampak-buruk-standar-nilai-ujian-nasional-un-tinggi-demi-peningkatan-kualitas-pendidikan-indonesia
     Penulis            :    http://organisasi.org
Waktu Akses   :    1 Nopember  2010/00.30WITA


4.  Judul               :  Al-Qur`an, Surah Ar-Ra`d, ayat 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar